Emosi Jiwa

Jumat, 9 November 2018


     Masa remaja bisa dibilang adalah puncak ketidakstabilan emosi. Dengan luapan emosi dan perubahan drastis yang mendadak bisa sering terjadi. Sebuah gejolak emosi yang begitu dinamis. Rasa suka, duka, sedih, bahagia, semangat, fanatisme, benci, apatisme semua bersatu datang secara bergantian mewarnai jalannya kehidupan sehari-hari masa remaja.




     Fluktuasi emosi yang intensif ini sangat dipengaruhi dari cara kita bersosialisasi dan hasil apa yang didapatkan dari sosialisasi tersebut. Salah pengucapan yang berujung putusnya pertemanan? Jokes dengan timing yang salah yang menjauhkan kita dari teman-teman? Ajakan kita terasa tidak dihiraukan oleh siapa pun? Teman sekelas datang mencari kita hanya pada saat menanyakan jawaban tugas? Masih banyak interaksi-interaksi yang bertepuk sebelah tangan yang akan munumbuhkan rasa ketidakpuasan, amarah, benci yang akan mengambil alih proses pengambilan keputusan serta membutakan akal sehat dan pada akhirnya memperburuk keadaan.


     Lebih sering iya dariapda tidak, aku bisa menahan (dan menyembunyikan) amarah serta emosi yang kadang bergejolak. Tapi tentu yg namanya manusia itu sumber kesalahan, ada waktunya khilaf maka ada beberapa momen dimana luapan emosi tidak bisa dipendam. Salah satu contohnya yg baru-baru ini terjadi adalah (surprise-surprise) saat main dota di warnet yang sedang sepi bersama beberapa teman. Karena tingginya ekspektasi dan rendahnya hasil yang didapat, satu hentakan yang sebenarnya tidak terlalu kencang ke meja terjadi. Tidak merusak meja tapi merusak suasana. Lalu diikuti oleh "Harusnya begini" "Kenapa ga gini" semua dengan nada menggurui dan kesan 'aku lebih tau dari kalian semua, aku lebih ahli'. (Maaf yo Hanif, Gibran, Catur dan Gio)


     Selain kejadian di warnet itu, luapan emosi yg kurasakan secara presentase jauh lebih banyak dipendam sendiri. Semua berkat 2 metode non-ilmiah yg efektif yaitu belanja/ngemil dan tidur. Pada dasarnya terapi 'me time'. Memang ada efek samping dari terapi sentimen ini ada beberapa. Yg pertama adalah takaran.
Sebanyak apa uang yg perlu dihamburkan hanya agar hati kecil merasa terobati?
Seberapa lama tidur yg harus dijalani agar batin menjadi tenang?
Sejauh apa diri harus diasingkan dari interaksi sosial?


     Untukku, durasi dari kedua terapi tersebut adalah 15 menit. 15 menit istirahat atau 15 menit mengunyah apapun yg tidak perlu cemilan mahal, roti yg di dwi fungsikan sebagai pelampiasan kekesalan dan pengganjal lapar pun terjadi.Pernah pada suatu hari selasa, terjadi beberapa peristiwa berantai yg berujung pada waktu beberapa jam terbuang percuma karena digunakan untuk menunggu sesuatu yg tidak ada. Dalam keadaan cuaca terik dan hati yg tidak kalah panas itu, aku memutuskan untuk tidur disebuah meja tempat mengerjakan tugas di lorong kampus. Tidak ada yg mengganggu untungnya. Aku bangun dalam keadaan yg lebih kalem dan sejujurnya lupa alasan awal tantrum.


     There it goes, itu metode yg berfungsi dan terbukti efektif untukku. Silahkan dicoba, silahkan diabaikan. Terserah kalian.

No comments:

Post a Comment