Saran yang Berguna

Minggu, 16 Juni 2019


     Banyak cara untuk memperbaiki diri, salah satunya adalah dengan meminta pendapat orang lain apa saja kekurangan diri sendiri. Yang mana opini tersebut dapat dijadikan bahan untuk introspeksi diri akan kesalahan dan kekurangan yang mungkin tidak kita sadari karena mencari kesalahan orang lain lebih mudah dibanding kesalahan diri sendiri.





     Kadang, ada hal mengganjal baik pada perilaku atau kelakuan seseorang yang ingin kita sampaikan agar kedepannya dapat diperbaiki tapi pada umumnya orang lebih memilih untuk diam. Menurutku (agar tidak bisa dibantah karena belum melakukan riset tentang pernyataan ini, HA) hal ini karena kita tidak ingin mempertanggungjawabkan kelanjutan dari opini tersebut. Bukannya tidak bertanggungjawab, hanya 'malas' mengungkapkan pendapat karena bisa saja menimbulkan ketidaknyamanan dan akhirnya menjauhkan pertemanan, karena kritik tidak dapat diterima dengan baik. Karena pelaku yang dikritik lebih memilih mempertahankan 'kehormatannya' dan sifatnya dibanding mengalah dan berubah menjadi pribadi yang semoga lebih baik.


     Hal itulah yang membuat berpendapat secara anonim biasanya lebih efektif. Karena mereka yang berpendapat tidak perlu takut untuk berkata jujur, atau mungkin terlalu jujur. Toh yang menerima kritikan juga tidak tahu siapa yang menuliskan pendapat itu, maka kemungkinan pertemanan akan merenggang hingga putus pun jauh lebih kecil.


     Setelah kuantitas, kini giliran kualitas saran yang jadi permasalahan. Pada saat kelas 3 SMP, disebuah jam pelajaran BK (bimbingan konseling) yang pada waktu itu diambil alih oleh mahasiswa dari UNJ, mereka menyuruh kelasku untuk membuat lingkaran dan menulis nama di sebuah kertas. Kertas tersebut kemudian dioper memutari lingkaran dan siswa yang lain harus menulis kesan atau pesan untuk si pemilik kertas.


     Hasilnya? Bagi mereka yang 'populer' dan dikenali dengan baik oleh seluruh murid di kelas, hasilnya memuaskan. Semua yang tertulis adalah saran atau kesan yang personal, yang unik berlaku untuk dirinya sendiri. Bagi yang lebih pendiam dan memiliki sedikit sahabat, maka hasilnya adalah banyaknya spam dari kalimat 'aman' agar tidak menyakiti perasaan.
-Baik
-Pendiam
Adalah 2 contoh paling umum. Pendiam masih dapat dianggap sebagai kritikan, namun 'baik'? Informasi apa yang didapat dari saran itu? Kita sudah berada di jalan yang benar? Kita tidak perlu berubah drastis dimasa depan karena sekarang sudah baik?


     Peristiwa serupa terulang lagi di masa perkuliahan, kali ini disebuah acara makrab. Sistemnya mirip dengan sedikit perbedaan yaitu setiap mahasiswa memiliki kantong plastik yang diberi nama dan memegang tumpukan potongan kertas, kertas ditulisi saran yang ditujukan untuk nama yang ada dikantong plastik, kantong plastik dioper memutari lingkaran. Hasilnya pun juga mirip tapi kali ini lebih parah. Lebih tidak menghormati acara dan kegiatan penulisan kesan pesan tersebut. Ada beberapa oknum mahasiswa yang lebih memilih menyiapkan tulisan tanpa mempedulikan untuk siapa kertas itu nanti, mereka menyiapkan kalimat-kalimat yang umum. Kenapa? Mungkin agar kantong plastik tidak menumpuk dimereka karena lama harus memikirkan menulis apa, mungkin agar acara cepat selesai karena keadaan waktu itu sudah lewat tengah malam, mungkin tidak kenal atau akrab dengan nama di kantong sehingga memilih main aman. Kalimat seperti:
-Semangat kuliahnya
-Semangat uas
-Semangat
Merupakan mayoritas dari isi kertas yang didapat. Jelas ini berbanding terbalik dengan tujuan dari kegiatan ini, yaitu sarana untuk berpendapat tanpa harus takut mem-filter kalimat. Alasan yang sama mengapa "Ask me anything" di Instagram seringkali memancing pertanyaan tidak berguna yang dijadikan ajang saling melucu. Mempertanggungjawabkan kelanjutan saran dan kritikan.


     Aku dengan segala idealismeku berusaha membuat setiap kertas yang kutulis personal, spesifik dan berguna. Alhasil beberapa kali kantong plastik menumpuk dibagianku tapi pada akhirnya aku puas dengan apa yang kutulis, walaupun tidak dapat berkata demikian dengan hasil yang kuterima, dimana setengahnya adalah 'spam' tadi. Tapi apakah ini masih termasuk idealisme? Harusnya tidak karena jika ini masih termasuk bentuk idealisme berarti standar dari apa yang iya dan apa yang tidak sangatlah rendah dan mengecewakan, ini adalah tujuan utama kegiatan, bukan sunnah yang bisa memberikan nilai plus.

No comments:

Post a Comment