Re: Re: Nilai Dibawa Mati atau Mati Dibawa Nilai

Kamis, 11 Juni 2020


     Postingan pertama setelah hiatus karena tidak ada motivasi menulis. Terima kasih Rivado atas inspirasinya agar aku mau menulis lagi. Postingan ini merujuk pada postingan Rivado (https://rivadotaku.blogspot.com/2018/03/re-nilai-dibawa-mati-atau-mati-dibawa.html) yang merujuk pada postinganku yang dulu.


 Mengutip postingan orisinal yang kutulis usai USBN SMA hari ke-4 :

"Gue sendiri bukan contoh yang baik karena ranking 3 digit di angkatan bukanlah hal yang bisa dibanggakan tapi selama ini nilai ulangan gue hasil sendiri. Hasil males belajar dan kejelekkan sendiri. Perlu diperjelas terlebih dahulu, sejak kelas XI (lupa jika ditanya soal kelas X), gue mengerjakan sendiri ulangan harian dan/atau tes mendadak apapun yang dilontarkan tiap guru. Perlu diperjelas lagi, nilai ulangan gue adalah murni hasil pemikiran (atau kurangnya pemikiran) diri sendiri, dengan pengecualian pada saat remedial dimana gue memang sering nyalin hasil remedial orang lain tapi tidak selalu, hanya sering."

Apakah ada yang berubah? Jawabannya adalah iya dan tidak.


     Selama 2 tahun sejak ditulisnya postingan itu, aku masih mampu memegang prinsip yang sama di perkuliahan. Hanya menyontek / menyalin tugas dan mengerjakan sendiri ulangan semester. Dan selama 2 tahun itu aku 'membayar' prinsip idealis itu dengan IPK yang tidak bisa dibanggakan di depan umum, bahkan di kalangan jurusan Teknik Elektro. Iya nilai itu adalah tanggungan pribadiku, nilai yang jelek adalah akibat kesalahanku dalam menjawab soal. Akibat dari kurangnya persiapanku mengikuti ujian semester, kurangnya pembelajaran dan revisi catatan. Aku tidak membantah dan tidak kabur dari fakta itu.


     Apa yang berubah adalah kebutuhan dan tujuanku dalam kuliah. Dulu aku tidak khawatir dengan masa depan. Siap menerima tantangan di depan mata tanpa adanya rencana jangka panjang. Sekarang semua itu harus ditinjau ulang. Ada goals yang harus diprioritaskan. Lulus. Kerja. Cari uang.


     Apa yang terjadi? Keadaan finansial yang makin mencekik memaksaku untuk mengubah sudut pandang dalam perkuliahan. Hampir 4 semester aku memegang prinsip itu. Sudah 4 ujian tengah semester dan 3 ujian akhir semester ku junjung prinsip anti menyontek. Pada UAS semesterku yang ke 4, aku menyerah. Aku tidak bisa menambah penderitaan keluarga, aku tidak boleh menambah beban perkuliahanku, memperlama masa studi karena mengulang beberapa matkul. Tidak bisa. Aku tidak bisa egois menunggu diriku siap terjun ke dunia kerja karena bisa jadi keuanganku dan keluargaku tidak bisa menunggu diriku sepenuhnya siap.


     Apakah hanya itu langkah yang kuambil? Menyontek UAS semester 4? Tidak. Aku sudah menjatah porsi makan selama 3 semester terakhir menjadi makan sekali sehari, aku sudah mengikuti kerja paruh-waktu di sebuah restoran mie pada semester 1, aku tidak pernah laundry pakaian selama kuliah. Beasiswa bukanlah hal yang realistis untukku. Jarang ada pihak yang mau membiayai perkuliahan seorang mahasiswa yang lemah secara akademik.


     Untuk kalian yang pernah atau masih mengidolakan prinsipku yang dulu, maaf. Maaf sebesar-besarnya atas kekecewaan kalian terhadap perubahan sikap dan prinsipku. Terima kasih atas pengertiannya.

No comments:

Post a Comment